Breaking News
Berita  

Generasi Muda dan Makna Ramadhan, Tradisi VS Modernisasi dalam Masyarakat Sulawesi Tengah

Oleh : Anjasman SNT

Harian Indonesia Pos.com – Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat Sulawesi Tengah, yang dikenal dengan kekayaan budaya dan nilai-nilai keislaman yang kuat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan zaman menghadirkan tantangan baru bagi generasi muda dalam memahami dan menjalankan ibadah Ramadan. Tradisi yang telah diwariskan turun-temurun kini menghadapi pengaruh modernisasi yang semakin kental.

Ramadhan dalam Tradisi Lokal

Di berbagai daerah di Sulawesi Tengah, Ramadan bukan sekadar menjalankan puasa, tetapi juga dipenuhi dengan tradisi yang mempererat ikatan sosial. Tradisi seperti *Nobuka Singgani*, yang merupakan acara buka puasa bersama sebagai bentuk rasa syukur, serta kebiasaan *Nangaji*, yaitu tadarus Al-Qur’an dan dzikir bersama di malam hari, telah menjadi bagian dari identitas masyarakat. Selain itu, di beberapa daerah, pemuda masih menjalankan Noteteku, tradisi membangunkan sahur dengan alat musik tradisional seperti kentongan.

Tradisi-tradisi ini bukan hanya soal budaya, tetapi juga sarana membangun kebersamaan, menanamkan nilai-nilai agama, dan menjaga hubungan antargenerasi. Namun, pertanyaannya, apakah tradisi ini masih dipertahankan oleh generasi muda?

Modernisasi dan Perubahan Gaya Hidup Ramadhan

Tidak bisa dipungkiri, modernisasi membawa perubahan dalam cara generasi muda menjalani Ramadan. Media sosial dan teknologi digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Aktivitas Ramadan pun beralih ke dunia virtual, pengajian di masjid mulai tergeser oleh ceramah online, tadarus bersama digantikan oleh mendengarkan murottal melalui aplikasi, dan kebersamaan dalam berbuka puasa lebih sering dilakukan melalui video call daripada secara langsung.

Fenomena lain yang muncul adalah pergeseran makna Ramadan bagi sebagian anak muda. Bagi mereka, Ramadan tidak lagi hanya tentang ibadah dan introspeksi diri, tetapi juga tentang tren konsumsi. Promo besar-besaran di marketplace, konten “bukber (buka bersama) estetik” di media sosial, hingga fenomena “sahur on the road” yang kadang lebih condong ke euforia daripada makna sosialnya, mencerminkan bagaimana modernisasi mempengaruhi cara mereka memaknai bulan suci ini.

Menyatukan Tradisi dan Modernisasi

Perubahan zaman memang tak bisa dihindari, tetapi bukan berarti tradisi harus hilang begitu saja. Generasi muda Sulawesi Tengah bisa memanfaatkan teknologi untuk tetap menjaga nilai-nilai Ramadan. Misalnya, mengangkat kembali tradisi lokal dengan mendokumentasikan dan membagikannya di media sosial agar lebih dikenal luas. Selain itu, dakwah digital dapat menjadi cara baru untuk menyebarkan nilai-nilai Ramadan tanpa harus meninggalkan cara-cara tradisional seperti kajian di masjid.

Kesadaran untuk menyeimbangkan modernisasi dengan tradisi juga harus didukung oleh keluarga dan lingkungan. Orang tua dan tokoh agama berperan dalam mengajarkan bahwa Ramadan bukan hanya soal tren, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki diri dan memperkuat spiritualitas. Dengan demikian, generasi muda tetap bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai bagian dari masyarakat Sulawesi Tengah yang kaya akan budaya dan nilai Islam.

Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi juga momen refleksi dan pembelajaran. Tantangan bagi generasi muda saat ini adalah bagaimana mereka bisa mengharmoniskan tradisi dan modernisasi sehingga Ramadan tetap menjadi bulan penuh makna, bukan sekadar momen seremonial yang kehilangan esensinya**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250